Hari Bakti bagi Ibu Pertiwi 2006, Simposium Nasional “Temu Tiga Generasi : Masa Depan Nasionalisme di Taman Sari Internasionalisme”
Dalam rangka memperingati Hari Bhakti Ibu Pertiwi yang jatuh pada tanggal 1 September 2006, National Integration Movement (NIM) mengadakan Simposiun Nasional bertema : Temu Tiga Generasi : Masa Depan Nasionalisme di Taman Sari Internasionalisme di gedung DPRD, Wantilan – Denpasar, Bali.
Simposium ini dibuka dan diresmikan oleh Bpk Sudharmadi WS, Deputi VI bidang Kesbang (Kesatuan Bangsa), mewakili Menkopolhukam pada pukul 08:30 WIT dan selesai sekitar pukul 12:30 WIT. Lagu “Indonesia Raya” yang dinyanyikan sendiri secara bersama oleh para peserta yang hadir, turut mengiringi pembukaan simposium dan dilanjutkan dengan sebuah tarian singkat.
Kata Sambutan
Ketua NIM Denpasar selaku Ketua Panitia, Ibu P. Sri Pujiastuti W.S.S, dalam kata sambutannya mengatakan bahwa Simposium ini bertujuan untuk mempertemukan 3 tokoh nasional dari generasi yang berbeda untuk mencari solusi bagi Indonesia dalam melewati masa-masa sulit & memberikan sumbangan bagi perdamaian dunia.
Selanjutnya, Ibu Maya Safira Muchtar sebagai Ketua NIM Pusat, mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mengenali jati-diri manusia Indonesia dengan mencari akarnya dari sejarah bangsa, bukan untuk bernostalgia, melainkan meneladani apa yang pernah terjadi di masa lampau serta mencegah terulangnya kembali kesalahan-kesalahan yang sama. NIM selalu berusaha mengkampanyekan kebanggaan pada Budaya Nasional lewat Pesta Rakyat yang diadakan 2 minggu sekali di Lapangan Ikada, Monas, Jakarta. Dalam perkembangannya, Pesta Rakyat ini hampir selalu dipenuhi oleh 1000-an orang-orang Indonesia yang masih bersimpati dengan keutuhan bangsa. Padahal Pesta Rakyat ini bermula dari komitmen 30 orang yang berjanji akan selalu datang untuk tertawa bersama dalam sebuah Klub Tawa, baik di tengah terik matahari maupun di kala hujan. (Rain or Shine). Tawa untuk membuat kita rileks dan Rileksasi akan menjernihkan pikiran kita dalam bertindak maupun berbicara.
Perwakilan NIM di Libanon-Mona Darwich, sedang berada di Libanon menghadapi agresi militer Israel ke negaranya. Beliau sempat berpesan bahwa Apa yang terjadi di Libanon Sekarang berawal dari Apa yang sedang terjadi di Indonesia saat ini. Di sinilah kita harus belajar dari Sejarah. Akhir kata, Ibu Maya mengajak setiap hadirin untuk memperbaharui komitmen-nya pada Ibu Pertiwi dengan mengibarkan Sang Saka Merah Putih pada hari Bhakti Pada Ibu Pertiwi ini.
“If you don’t learn from history, you will be condemned to repeat i,.” demikian Bpk Anand Krishna, Penggagas NIM, mengutip sebuah pepatah Inggris. Bangsa Indonesia sebenarnya sudah terpisah-pisah dengan hadirnya perda-perda syariat. Laporan NIC (National Intelligence Council) malah memprediksi Indonesia akan terpecah menjadi 5 negara sebelum 2020. Maka kita tidak bisa tinggal diam melihat kenyataan seperti ini, apalagi masih terpaku pada suatu ajaran agama tertentu.
Padahal dulu, Buya Hamka pernah mengatakan bahwa semua nilai-nilai Islam sudah terkandung dalam Pancasila. Dan, Soekarno sendiri pernah berkata bahwa sebelum terbentuknya NKRI, Nusantara pernah mengalami 2 kali national staate, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Bahkan Coedes pernah mengatakan bahwa Sriwijaya, yang beribu-kota di Palembang, mungkin adalah dinasti terlama dalam sejarah umat manusia.
Asmara Hadi dan Roeslan Abdul Gani (Cak Roes) dalam Sidang Konstituante pernah mengungkapkan bahwa kegagalan Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol adalah karena pahlawan-pahlawan nasional ini berjuang dengan landasan yang tidak kuat, yaitu dengan landasan regional ataupun agama, bukan landasan nasional. Nur Sultan Iskandar pernah mengkritik M. Natsir karena terlalu berkiblat pada Pakistan. Beliau memprediksi perpecahan Pakistan karena landasan agama tidak cukup kuat untuk mempersatukan sebuah bangsa. Prediksi beliau terbukti ketika Bangladesh memisahkan diri dari Pakistan.
Maka Solusi untuk Indonesia adalah (1) Pendidikan. Biarkan agama diajarkan di rumah-rumah Ibadah, tapi ajarkan Budi Pekerti di sekolah-sekolah umum seperti konsep pendidikan Ki Hajar Dewantoro, (2) Love for A Nation. Seperti kata sufi Bahauddin Shah : “Saatnya mencintai negara seperti mencintai seorang kekasih,” (3) Gotong Royong sebagai ciri khas budaya Nusantara, (4) Menolak buah-buah impor karena kita tidak punya uang. Pemerintah tidak bisa turut serta dalam kampanye atau aturan menolak barang-barang impor karena terbelenggu aturan WTO, tapi masyarakat bisa, (5) Jangan sampai terjadi Imperialisme Budaya di Indonesia, maka akar budaya bangsa harus diperkuat. Budaya bukan hanya seni dan ini harus jelas sekali. Setiap kementerian kita haruslah berbudaya dan Budaya adalah napas kita. Kita harus menggali kearifan Budaya lokal, seperti Kitab Sutasoma. Kita harus punya kebanggaan menjadi orang Indonesia.
Seorang perwakilan NIM di Libanon adalah cucu dari seorang Mufti Besar di Syria. Dia mengatakan kepada saya bahwa keadaan di Indonesia saat ini mirip sekali dengan apa yang telah terjadi di Libanon 26 tahun yang lalu. Dan setelah itu terjadi perang antar agama, yang memporak-porandakan negara Libanon selama belasan tahun. Apakah ini yang kita inginkan?
Setelah Doa Bersama 4 Agama, Ketua DPRD, Ida Bagus Putu Wesnawa, diwakili oleh Wakil Ketua DPRD, I Gusti Ketut Adhiputra berkenan memberikan kata sambutan yang intinya bahwa Bangsa yang besar adalah Bangsa yang menghargai pahlawannya. Demikian pula Gubernur Bali, Dewa Brata, diwakili oleh Kol. MP Sihombing, Kesbang Pemprov Bali berpendapat bahwa Nasionalisme tiap bangsa mempunyai ciri-ciri tersendiri dan bukan hanya monopoli negara Indonesia saja. Nasionalisme Indonesia adalah Nasionalisme yang berdasarkan kecintaan pada negara, maka bersifat universal.
Simposium Nasional dan Kampanye Kebangsaan yang diadakan oleh NIM selalu mempunyai ciri khas karena hampir di setiap segmen acara selalu diselingi oleh pentas seni tari, drama (role play) dan nyanyian kebangsaan yang dimotori oleh “The Torchbearer.” Lagu-lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu berirama pop pilihan yang liriknya diubah menjadi lirik kebangsaan, dan setiap kali peserta simposium diajak untuk ikut bernyanyi bersama. Hal ini membuat terjalinnya rasa persatuan dan kesatuan yang erat di hati setiap peserta yang hadir. Rasa Persatuan dan Kesatuan ini diharapkan bisa memicu kesadaran berkebangsaan dalam diri setiap orang yang hadir dan membagikan kesadaran ini pada masyarakat sekitar mereka. Apalagi setiap pembicara secara sadar dan disiplin membatasi waktu bicara mereka menjadi hanya 8-10 menit. Ditambah gaya bicara tiap pembicara yang ringan dan penuh humor, sehingga simposium kebangsaan ini menjadi tidak berkesan militeristik, propaganda dan membosankan.
Keynote Speaker.
Sebagai Keynote Speaker, Menteri Pemberdayaan Perempuan (PP) diwakili oleh Staff Khusus Meneg. PP–Dra.Pinky Saptandari, MA mengutarakan bahwa Prinsip kedaulatan national staate masih relevan di era sekarang ini. Tanpa Nasionalisme yang berakar kuat pada kebudayaan lokal, maka suatu negara tak mungkin “exist” di Taman Sari Internasionalisme. Bpk. Budi Susilo Soepandji, DEA–Dirjen Potensi Pertahanan yang mewakili Menteri Pertahanan berpendapat bahwa Bela Negara berarti berupaya untuk mempertahankan Nilai-Nilai Budaya yang terkandung dalam falsafah Pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan NKRI. Untuk menghancurkan NKRI tidak mudah dan perlu kekuatan militer sekelas Amerika Serikat. Maka, penyerangan melalui ideologi, politik, ekonomi dan budaya dilakukan untuk melemahkan integritas NKRI. Maka, tiap WNI diharapkan mampu menyiapkan fisik & non-fisik untuk berkorban demi Negara.
Menkopolhukam diwakili oleh Deputy VI bidang Kesbang, Bpk Sudharmadi WS, menunjukkan dukungannya pada setiap gerakan yang membangkitkan rasa nasionalisme. Sekarang ini karakter nasional yang semestinya mengabdi kepada negara telah jauh bergeser menjadi pengabdian pada individu atau kantong. Kebanggaan pada negara sudah mulai pudar padahal masalah-masalah yang dapat menganggu pertahanan nasional seperti : konflik, korupsi, teroris, narkoba, kemiskinan dan krisis energi dapat dengan mudah dibereskan bila bangsa Indonesia bersatu. Dari hasil survei sebuah lembaga di bawah naungan PBB, menyebutkan bahwa telah terjadi 3600-an konflik yang mengorbankan lebih dari 10,700 nyawa antara tahun 1997-2004 (tidak termasuk Aceh dan Papua) di Indonesia. Makanya, (1) Jangan kita mudah terpicu untuk terlibat dalam suatu konflik, (2) Hentikan pemaksaan kehendak, dan (3) Tingkatkan Nasionalitas. Tidak termasuk Aceh dan Papua, karena researcher-nya tidak mau menjadi korban dari sebuah konflik.
Sebelumnya, Bpk. Sudharmadi sempat mengomentari NIM. “Sudah sering kali saya diundang dalam acara-acara yang diselenggarakan NIM. Tapi setiap kali saya ikut, saya selalu saja merinding, karena di tengah carut-marut bangsa Indonesia, masih ada saja orang-orang gila seperti anda-anda, ” kata beliau diiringi gemuruh tawa dan tepuk tangan meriah dari para hadirin yang hadir di Simposium ini.
Bpk Sudharmadi juga sempat mempresentasikan eksistensi RI di dunia Internasional. Soekarno, menurut beliau, sangat lebih berpikiran maju dibandingkan pemimpin negara-negara lain di dunia. (1) Tahun 1950-an, Soekarno memboikot Olimpiade. Saat itu dunia mencibirkan Indonesia karena mencampur-adukan olahraga dengan politik. Tapi tahun 1984 Amerika meniru langkah Soekarno memboikot Olimpiade Moskow dan Uni Sovyet membalasnya di tahun 1988. (2) Konferensi AsiaAfrika (AA) diprakarsai Soekarno memberikan inspirasi kepada negara-negara di Asia dan Afrika untuk menuntut kemerdekaan dari penjajahan barat. (3) Keluarnya Indonesia dari United Nation (UN) dulu dan sekarang telah ada wacana dari negara-negara di dunia untuk bersama-sama keluar dari UN karena hak veto yang hanya diberikan kepada 5 negara jelas-jelas menunjukan ketidaksetaraan dalam keanggotaan PBB (UN). Ketiga hal di atas menunjukan kemajuan berpikir Soekarno dibandingkan pemimpin-pemimpin negara lainnya.
Jumpa Pers.
Acara selanjutnya adalah penandatanganan Prasasti Sutasoma yang ditanda-tangani oleh para pembicara. Panitia pun sempat mengadakan Jumpa Pers di ruang terpisah. Dalam Jumpa Pers ini, Ibu Pinky Saptandari mengomentari bahwa Kementerian PP telah mengajukan usul untuk merubah landasan filsafat dan prinsip RUU APP menjadi RUU Pornografi yang mengatur peredaran barang-barang yang dianggap pornografi dan menjadikan perempuan dan anak-anak sebagai pihak yang dilindungi bukan disalahkan seperti yang tertera pada RUU sebelumnya.
Seorang Wartawan Senior Putu Setia sempat bertanya kenapa simposium semacam ini diselenggarakan di Bali, di mana rasa nasionalisme di Bali jauh lebih tinggi dibandingkan di beberapa tempat di luar Bali. Bapak Anand Krishna menegaskan bahwa justru Simposium ini sengaja diselenggarakan di Bali karena Bali adalah pewaris budaya dan peradaban Nusantara, dan karena itulah benih-benih nasionalisme dengan mudah bisa diperoleh di Bali. Simposium kali ini diharapkan bisa menjaga benih-benih ini, untuk disebarkan kemudian ke seluruh pelosok Nusantara.
Bapak Putu Setia juga sempat mempertanyakan kebijaksanaan Departemen Agama RI yang mengucurkan dana kira-kira 61 milyar Rupiah untuk Propinsi Bali, tapi 42 milyar rupiah digunakan untuk keperluan 300 ribu Mesjid di Bali dan sisanya baru digunakan untuk keperluan 3.5 juta Pura dan rumah-rumah ibadah dari Kristen, Katholik dan Buddha. Bukankah kebijakan Depag ini berpotensi menimbulkan kecemburuan dan kemudian perpecahan bangsa karena diskriminasi pada segolongan agama? Bapak Sudharmadi mewakili pemerintah, berjanji akan membawa data-data ini ke rapat Polhukam di Jakarta.
Simposium Grup 1
Sementara itu di arena Simposium, Bpk. Ir. DR.(HC). Siswono Yudo Husodo tampil sebagai salah satu pembicara dalam Simposium Grup 1 yang dimoderatori oleh Ibu Santy Sastra. Beliau membahas pengakuan komunitas Inteligen Dunia atau National Intelligence Council (NIC) pada Indonesia sebagai salah satu dari 5 negara besar yang akan punya pengaruh besar di dunia, bila Indonesia berhasil melewati masa sulit integrasi-nya. (Russia, Brasil, China, India & Afrika Selatan) Gusti Kanjeng Ratu Hemas, di lain pihak, menyayangkan sikap dan komentar beberapa orang yang beranggapan bahwa kebudayaan Indonesia lebih baik disimpan dalam Musium atau Cagar Budaya saja, dalam kaitannya dengan kontroversi RUU APP yang jelas-jelas menyudutkan kaum perempuan. Berpakaian daerah, menurut beliau, adalah salah satu usaha pelestarian budaya Nusantara dan hal ini tidak boleh dilarang.
Dan Grup ini, tampil juga sebagai pembicara, Hery Haryanto Azumi–Ketua Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menegaskan bahwa bila masih ada Muhammadiyah, NU, PMII dan GMNI, maka keutuhan NKRI dan Pancasila sebagai prinsip bersama akan selalu terjaga. PMII selalu siap di barisan terdepan dalam Islam untuk menghantarkan Indonesia bergerak ke arah pluralisme dan kebhinnekaan. Islam ada untuk Indonesia, bukan Indonesia ada untuk Islam.
Sementara itu I Wayan Semara Cipta–Presidium Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia mengatakan bahwa kearifan lokal dalam tradisi Bali seperti pemberian sesajen adalah bentuk ungkapan kasih dan hormat kepada semua makhluk. Masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir Bali akan memisahkan diri dari NKRI karena Ideologi Bali sudah terkandung dalam Semboyan Negara: Bhinneka Tunggal Ika, dan selama Pancasila menjadi Dasar Negara. Beliau juga berpendapat bahwa pencantuman kolom Agama di KTP adalah bentuk awal diskriminasi dalam masyarakat Indonesia sehingga harus dihilangkan. Acara pun sempat diselingi pembacaan pantun oleh anak-anak yang berpakaian dari berbagai tradisi dan daerah di Indonesia serta nyanyian2 Kebangsaan.
Simposium Grup 2.
Simposium Grup 2 menghadirkan Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, yang berpendapat bahwa telah terjadi pembusukan dari dalam selama 61 tahun Indonesia Merdeka. Pengkhianatan laku pada kata tersimpul dalam Pancasila, di mana sebagai kata, Pancasila selalu diagungkan, dan ditinggikan, tapi selalu dikhianati dalam perbuatan. Dan lebih celaka, pemimpin pun ikut serta dalam pengkhianatan ini. Beliau juga memperingatkan kita semua untuk tidak terjebak dalam perangkap Ultranasionalisme dengan menghubungkan Indonesia sekarang dengan kejayaan Nusantara di jaman Sriwijaya dan Majapahit dulu. Padahal idola beliau, Soekarno-lah, yang pertama melontarkan ide-ide seperti itu. Pekik-kan : Indonesia JAYA! yang spontan dan kompak mungkin juga mengusik hati beliau akan propaganda ala militer Ultranasionalisme Nazi dan Fasisme Itali. Tapi jangan khawatir Pak Syafii karena Nasionalisme yang kita kampanyekan adalah Nasionalisme berdasarkan humanitas, bukan berdasarkan Ego atau Superioritas suatu golongan. Sementara itu bagi Romo Paskalis, wakil ketua Komisi Hubungan Antar Agama Keuskupan Denpasar, Nasionalisme berkaitan erat dengan Rasa Cinta Negara. Oleh Cinta dan Dari Cinta, maka kita semua bisa berkumpul bersama membicarakan masalah-masalah bangsa.
Cahaya Zendy, Wakil Ketua DPD Patria Bali, mengindikasikan adanya upaya penghilangan akar-akar jati diri sebagai satu bangsa melewati sistem pendidikan. Sistem Pendidikan Indonesia semestinya bisa mengajarkan perbedaan antara keinginan dan kebutuhan sehingga kesederhanaan dalam melakukan segala hal dapat tercipta di mana pun juga termasuk Pemerintah.
Pembicara berikutnya adalah Rendra Valentino, Sekjen Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), yang berpendapat bahwa keampuhan Pancasila rontok karena pelaksanaannya sangat kacau. Persamaan Nasib, sebagai cikal bakal Nasionalisme Indonesia, sudah pudar. Inilah faktor-faktor yang menyebabkan Indonesia jatuh dalam krisis yang berkepanjangan.
Sementara itu, Prof. Dr. Dharmardjati Supadjar yang mengaku sebagai seorang Javanologi berkesempatan menembangkan sebuah syair jawa kuno yang artinya bahwa semua gejala-gejala kekhawatiran akan carut-marutnya Indonesia sudah terjadi. Tapi semuanya ini pada akhirnya akan mengkerucut pada suatu gerakan moral dan spiritual atau batin yang akan membangkitkan kembali Indonesia dari keterpurukan. Yang tidak mau ikut serta dalam gerakan ini akan terlibas.
Beliau memulai pembicaraan dengan bertanya : “Siapakah yang sebenarnya paling berbudi? Jawabannya adalah Para Tokoh Agama yang lapang dada menerima Pancasila” Karena mereka ini yang tahu persis telah terjadi kesalahpahaman orang terhadap Firman Tuhan bahwa FirmanNya sebenarnya melampaui ruang dan waktu, dan karena ruang dan waktu itulah maka FirmanNya itu ada. Jadi bila cahaya matahari, warna hijaunya dipantulkan oleh daun, masih bisa dimengert. Tapi bila daun mengklaim semua harus hijau warnanya seperti daun, maka itu adalah sebuah korosi pemikiran. “Demikian pula bila ada klaim semua kuning, maka sakit kuning Indonesia,” kata beliau diiringi tertawaan dan siulan setuju dari para hadirin. Jadi Bhinneka Tunggal Ika adalah Pusaka Bangsa.
Tapi sayangnya, menurut beliau, ini hanya dijadikan wacana, tanpa pelaksanaan. Sebenarnya Pancasila itu, yang intinya Gotong Royong, di dunia menemukan format yang sepenuhnya sama yaitu Filsafat Proses atau Filsafat Organisme, yang tokohnya seorang ahli matematik bernama Alfred N Whitehead yang tidak bisa menghitung ketika Realitas berhadapan dengan Yang Adhikodrati. Ketuhanan YME di atas segala agama.
Kemudian Yang boleh primodial adalah hanya Yang Illahi. Tidak boleh ada promodialisme lain, baik agama, aliran kepercayaan, kelompok ataupun suku. Maka Wahyu pun harus dirumuskan menjadi penjelasan-penjelasan ilmiah. Dengan itu tidak ada hak siapapun untuk mengatas namakan Tuhan, kecuali Dia mewakili semuanya (All in All). Selama masih mewakili suatu kelompok, golongan, agama, suku dan bangsa sekalipun, maka akan terjadi manipulasi.
Di akhir pembicaraannya, beliau menyerahkan sebuah kertas kerja teruji yang disusun seorang teman yang berhasil merumuskan sebuah hukum “anomali” yang mampu menciptakan sebuah generator listrik tanpa bahan bakar yang bisa menghasilkan output yang berlipat-lipat inputnya. Kertas kerja ini diserahkan kepada Bapak Siswono Yudhohusodo untuk digunakan demi kepentingan bangsa.
Simposium ini dihadiri kurang lebih 750 orang dari kalangan pemerintahan, pelajar, mahasiwa, seniman, wartawan dan umum. Mereka semua memenuhi Pendopo Gedung DPRD Wantilan dari awal sampai berakhirnya acara. Yang perlu dicatat adalah para anggota dan perwakilan NIM yang berasal dari 24 daerah di seluruh Indonesia turut serta dengan ongkos sendiri, dan dengan spontan & kompak dapat meneriakkan bersama INDONESIA JAYA! Seperti yang dikatakan MC pada akhir acara, dengan format simposium seperti ini, hampir tidak ada yang meninggalkan tempat duduk sampai acara berakhir. Begitu pula ketika bersama-sama menyanyikan lagu-lagu Kebangsaan. Spontanitas dan Kekompakan itu kemudian menyebar ke seluruh hadirin yang datang dan hadir di simposium ini, termasuk menandatangani sebuah petisi yang menolak perda-perda yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD’45. (j/b)
Prasasti Sutasoma
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
dan Atas Nama Kasih Yang Tak Terbatas dan Tanpa Syarat
Bangsa Indonesia
Merayakan Hari Bhakti Bagi Ibu Pertiwi
Sebagaimana telah dicanangkan oleh Menteri Pertahanan R.I
Bapak Prof. Dr. Juwono Sudarsono
Pada Tanggal 1 September 2005 di Gedung Lemhanas Jakarta
Untuk Membangkitkan Kembali Semangat Kebangsaan Sutasoma
1. Janganlah Meracuni Pikiran dan Menyakiti Perasaan Sesama
2. Janganlah Bertindak Tidak Adil
3. Janganlah Meranpas Hak / Menjarah Harta Sesam
4. Janganlah Menunda Kebaikan
5. Bertindaklah Sesuai dengan Nasihat Para Bijak
6. Janganlah Menyombongkan Diri
7. Jangnlah Menghakimi kecuali demi Keadilan
8. Jangan Takut Mati
9. Bersabarlah dalam Duka
10. Jadilah Manusia Berjiwa Besar dan Tidak Pilih Kasih
( DARI “CANTAKAPARWA-RIWAYAT SUTASOMA” CONTOH KEARIFAN LOKAL / INSPIRASI DIBALIK PANCASILA LANDASAN KITA BERBANGSA DAN BERNEGARA )
KUTA – BALI,
1 September 2006
Yang Menandatangani adalah :
Gubernur Bali, Dewa Brata
Ketua DPRD, Ida Bagus Putu Wesnawa
Deputy VI bidang Kesbang – Menkopolhukam, Bpk. Sudharmadi WS.
Dirjen Potensi Pertahanan – Menhan, Bpk. Budi Susilo Soepandji, DEA.
Staff Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan PP–Dra. Pinky Saptandari, MA
Wagub Bali, IGN Alit Kelaken
Wakil Ketua DPRD, I Gusti Ketut Adhiputra.
Gusti Kanjeng Ratu Hemas
Ir. DR(HC). Siswono Yudo Husodo
Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif
Prof. Dr. Dhamardjati Supadjar
Rendra Valentino–Mewakili Generasi Pemuda
BHINNEKA TUNGGAL IKA TAN HANA DHARMA MANGRWA